Saturday, March 12, 2011

Peraih Empat Doctor di Jepang | Dari Indonesia lho


JAKARTA, KOMPAS.com - Di balik pencapaian gelar profesor dan empat doktor sekaligus dari empat universitas berbeda di Jepang, Ken Kawan Soetanto punya pengalaman penuh liku.



”Apa bisa orang Indonesia mengajar orang Jepang?” begitu ungkapan yang merendahkan dia sewaktu mengajukan diri menjadi dosen di salah satu universitas di Jepang setelah meraih gelar doktor keduanya pada 1988. Dengan dana beasiswa Pemerintah Jepang dan semangat belajar tinggi, Soetanto, panggilannya, menjadi guru besar di beberapa universitas di Jepang.



Di Amerika Serikat, tahun 1988-1993, ia menjadi associate professor di Universitas Drexel dan Universitas Thomas Jefferson, Philadelphia. Sejak 2005 ia menjadi guru besar Venice International University, Italia.



Keahlian Soetanto bisa ditelusuri dari minat studinya. Keempat gelar doktor dia peroleh di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology (1985), ilmu kedokteran dari Universitas Tohoku (1988), ilmu farmasi dari Science University of Tokyo (2000), dan ilmu pendidikan dari Universitas Waseda (2003).



”Sejak 2003 saya memegang rekor gelar empat doktor sekaligus di Jepang,” katanya.



Dari pengembangan interdisipliner ilmu elektronika, kedokteran, dan farmasi, dia menghasilkan 29 paten di Jepang dan 2 paten di AS. Pencapaian riset dengan paten paling mutakhir diakui di Jepang, yakni The Nano-Micro Bubble Contrast Agent. Pemerintah Jepang melalui NEDO (The New Energy and Industrial Technology Development Organization) memberinya penghormatan sebagai penelitian puncak di Jepang dalam rentang 20 tahun, 1987-2007.



”Itu riset smart medicine atau obat cerdas yang mampu menelusuri sistem jaringan pembuluh darah untuk mencari sel-sel kanker dan melumpuhkannya,” kata Soetanto.



Mendidik itu menggali



”Negara tanpa riset akan lemah. Riset harus dikembangkan melalui pendidikan yang baik,” kata Soetanto.



Pemikiran mengenai pendidikan yang baik, menurut Soetanto, kembali pada pengertian to educe, yaitu untuk menggali. Pendidikan itu menggali kemampuan atau kepintaran diri setiap orang. Pendidikan tidak mendiskriminasikan kondisi fisik seseorang dan tidak membatasi kemampuan ekonominya. Pendidikan untuk menggali kepintaran setiap orang, termasuk orang yang kehilangan semangat belajar atau yang dianggap bodoh. Pendidikan tidak hanya untuk orang kaya.



Berdasarkan pengalaman Soetanto mengajar di Jepang, justru orang miskin memiliki kemauan belajar yang lebih tinggi. ”Berapa doktor dari Indonesia yang belajar ke luar negeri dengan membayar mahal, lalu pulang dan akhirnya tidak mengerjakan apa-apa?” sergahnya.



Soetanto dalam menjalankan proses pendidikan di Jepang tidak hanya berteori. Namun, ia berusaha benar-benar menggali kepintaran setiap peserta didik.



Metode Soetanto mengajar di Jepang sempat dikenal sebagai ”metode Soetanto” atau ”efek Soetanto”. Suatu pengajaran yang menyentuh hati setiap peserta didik dan mengumandangkan motivasi serta pemahaman tujuan yang ingin diraih.



”Manusia yang sebelumnya bodoh atau tak memiliki semangat belajar sama sekali harus didaur ulang supaya memiliki motivasi belajar dan bermanfaat bagi sesamanya,” ujarnya.



Pengalaman Soetanto pertama kali mengajar di Jepang adalah di Toin University of Yokohama pada 1993. Di universitas itu, sekitar 80 persen mahasiswa tidak memiliki motivasi belajar yang baik. ”Toin University of Yokohama itu universitas ’kelas bebek’, bukan universitas unggulan, sehingga motivasi belajar para mahasiswanya rendah,” katanya.



Soetanto berhasil mengubah keadaan. Mekanisme pengajarannya untuk pencapaian kesadaran penuh mengenai apa yang sedang dijalani siswa, dan mereka pun mengerti tujuan yang ingin diraih.



Energi tersembunyi



Berbagai penghargaan diterima Soetanto, antara lain Outstanding Achievement Awards in Medicine and Academia dari Pan Asian Association of Greater Philadelphia, AS, tahun 1990. Ia juga meraih predikat profesor riset terbaik dan profesor mengajar terbaik selama tujuh tahun berturut-turut (1994-2000) di Toin University of Yokohama.



Soetanto termasuk kategori satu di antara tiga pemohon paten paling terkemuka di Jepang. Sejak 2003 dia menjadi guru besar di Universitas Waseda dan menjabat Kepala Divisi Urusan Internasional. Dia juga menjadi orang pertama dari luar Jepang dalam 125 tahun terakhir ini yang diajukan menduduki jabatan setingkat kepala divisi di Universitas Waseda. Sampai kini lebih dari 1.100 karya ilmiah Soetanto telah dipublikasikan.



Dalam menjalani sejumlah aktivitas tersebut, kata Soetanto, ia merasa ada hidden power (energi tersembunyi). Energi tersembunyi itu terlahir dari perasaan terhina sebagai orang Indonesia yang masih diremehkan di Jepang.



Di Indonesia, Soetanto juga pernah merasakan terbuang. Tahun 1965, ketika terjadi pergolakan politik menentang komunisme, hak mendapat pendidikan Soetanto terampas. Sekolahnya, Chung-Chung High School di Surabaya, ditutup untuk selamanya. Soetanto hanya menyelesaikan pendidikan sampai kelas I SMA.



Selama tak lagi bersekolah, dia bekerja mereparasi elektronik di toko abangnya di Surabaya. Setelah uang terkumpul, berangkatlah dia ke Jepang tahun 1974 untuk belajar lebih jauh mengenai elektronika. Pada 1977 Soetanto mengikuti ujian negara di Jepang dan berhasil menjadi mahasiswa Fakultas Teknik dan Pertanian Universitas Tokyo.