Friday, March 4, 2011

Ahmadiyah Lebih Dulu Picu Konflik

ge1Y0FcxoO Ahmadiyah Lebih Dulu Picu Konflik


JAKARTA: Dua organisasi besar Islam, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengungkapkan bahwa sebenarnya yang lebih dulu mencari masalah adalah jemaaT Ahmadiyah.

Katib Aam PBNU, Malik Madany, meminta publik untuk bersikap adil dalam melihat masalah Ahmadiyah. Publik jangan hanya melihat dari sikap orang yang non-Ahmadiyah terhadap Ahmadiyah. Tapi lihat juga bagaimana Ahmadiyah memandang umat Islam di luar mereka.

“Saya ingatkan bahwa dalam kitab-kitab mereka, bahwa mereka (Ahmadiyah) yang mengkafirkan umat Islam non-Ahmadiyah terlebih dahulu. Ini pernyataan mereka dan mereka yang terlebih dulu mengecap kami sebagai kafir,” tukas Malik usai pertemuan dengan Menteri Negara Dalam Negeri Gamawan Fauzi, di Jakarta, Jumat (4/3).

Selain dihadiri jajaran PBNU, pertemuan tersebut juga diikuti PP Muhammadiyah, termasuk Ketum DIn Syamsuddin.
Meski Jemaat Ahmadiyah yang memulai permasalahan lebih dulu, NU menegaskan bahwa pihaknya tetap tidak merekomendasikan tindakan-tindakan anarkis untuk menghadapi Ahmadiyah.

“Malah tindakan anarkis itu, menurut NU, justru menaikkan pamor Ahmadiyah. Sehingga terkesan Ahamdiyah itu didzolimi, padahal seperti yang sudah disinggung Pak Din Syamsuddin bahwa yang memulai dzolimi terlebih dahulu itu bukan musuh Ahmadiyah, tapi Ahmadiyah sendiri. Cuma ini tidak pernah diungkap ke permukaan,” beber Malik.

Pernyataan Malik tak berbeda dengan yang dilontarkan oleh Din Syamsuddin.

“Ahmadiyah ini menganggap orang Islam lain seperti kami-kami ini kafir. Jadi yang mulai mengkafirkan itu Ahamdiyah. Maka fatwa ulama MUI, NU, Muhammadiyah terhadap Ahmadiyah adalah sebagai reaksi pandangan Ahmadiyah terhadap kami ormas Islam,” jelasnya.

Ketika ditanya apakah pemerintah perlu membuat peraturan baru untuk menyelesaikan permasalahan Ahmadiyah, selain SKB. Din Syamsuddin mengatakan tidak perlu. Pemerintah hanya diminta hadir ketika Ahmadiyah menyebarluaskan ajarannya yang tidak sesuai dengan akidah Islam sesungguhnya.

“Menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai mesiah, nabi terakhir, jelas menyinggung perasaan umat Islam. Nah, ini akan menimbulkan keresahan sosial. Di sinilah negara harus hadir. Maka pemerintah berkewenangan untuk menegakkan hukum, untuk menghindari social disorder. Tapi jangan lama-lama. Harus cepat,” tandas Din Syamsuddin. (*/OL-3)